Laman

Rabu, 23 Maret 2011

KETIKA NARASUMBER KOCAK DAN JURNALIS AMATIR BERDUET

Rabu, 17 Maret 2011.



Masih dengan nafas terengah-engah penulis segera menuju ke lantai tiga untuk menemui narasumber. Ada sedikit ekspektasi bahwa narasumber akan kesal karena waktu wawancara yang sedianya pukul 14.00 telah mundur menjadi 14.30 tanpa pemberitahuan sebelumnya. Ruangan perpustakaan yang baru kurang lebih seminggu aktif tersebut terasa sejuk dengan AC di berbagai sisi ruangan, sehingga keringat penulis yang terdiri dari lelah, khawatir, dan sedikit kecanggungan masih dapat  tertutupi.

Dengan senyum khas dari narasumber yang penulis identifikasi sebagai perkenalan tersebut akhirnya suasana sedikit mencair.

“kita’?”, tanya penulis.
“iya”, jawab narasumber.

Dan percakapan berkembang dengan sendirinya. Walaupun penulis sedikit bingung karena wawancara diadakan di lantai dua bukan lantai tiga seperti perjanjian sebelumnya. Narasumber hadir dengan tampilan sedikit acuh tak acuh khas fotografer, dalam balutan baju biru lengan panjang, celana jeans yang sedikit memudar, dan tas selempang kecil berwarna hitam ia mulai menuturkan awal ketertarikannya pada fotografi. Dalam perbincangan yang berlangsung renyah dan penuh gelak tawa tersebut penulis terbawa ke dalam suasana rileks bahkan sangat rileks, sehingga terkesan saling mewawancarai.

Disetiap awal penuturannya Hasyaf yang merupakan nama singkatan dari Hasman Syahran Fattah ini akan selalu berkata “Barusanku saya diwawancarai begini, hahah… ” lalau kutimpali dengan “Saya juga barusanku wawancara orang begini” dan seketika ia refleks berujar “Kayaknya semua orang yang wawancaraika stress” dan seketika pula tawa renyah kembali bergema. Seperti itulah suasana perpustakaan lantai dua, di sudut dekat tangga yang biasanya tenang dan jauh dari keributan tiba-tiba menjadi panggung Opera Van Java mini. Karena cukup lama menghabiskan waktu dengan lawakan yang tak kunjung usai, kami sepakat untuk sedikit serius. Dan aku menyodorkan selembar kertas untuk ia tulis terkait data pribadinya. Sesaat sebelum menulis biodata seperti yang biasa dilakukan oleh anak SD, ia berujar lagi “Kenapa saya yang menulis? Biasanya kalau diwawancarai saya bicara saja, jurnalisnya yang menulis” lalu kujawab “Itu dia, kak! Luar biasanya saya!”. Demikianlah ia mulai menulis dengan terang diatas kertas putih yang tanpa merek tersebut setelah tertawa sebelumnya. Diuraikannya hal-hal dasar seperti kelahirannya yakni 24 April 1990 yang tanggalnya bertepatan ditulisnya La Marseillaise, lagu kebangsaan Perancis 198 tahun silam. Kemudian ia sekarang menimba ilmu di jurusan Teknik Informatika semester 6 dan berencana mengambil desain grafis untuk pemfokusannya. Ditengah penuturan akan visi dan misinya ke depan terkait profesi yang kini digelutinya yakni mahasiswa IT dan fotografer, penulis menilai ada semangat dan antusiasme yang tinggi. Hal ini terlihat dari bagaimana ia menceritakan awal ia tertarik dengan fotografi, saat SMA ia mulai menyukai gambar yang ada dimajalah, dan kerap berpikir kenapa hasil gambarnya bagus dan jelas? Apakah karena proses edit yang baik? Atau pengambilan gambarnya yang tepat? Hal tersebut ia rasa jauh berbeda dengan kamera ponsel yang biasa digunakannya. Saat itu pula ia mulai memantapkan diri untuk memilih Teknik Informatika, berawal dari kegemaran foto tadi. Selepas SMA dan menginjak tahun kedua di UIN Alauddin ia mulai memikirkan hal lain yang dapat menunjang kualitasnya sebagai lulusan IT, maka ia mulai berencana mengadakan organisasi yang mewadahi mahasiswa-mahasiswa yang gemar dengan dunia desain grafis untuk terjun didalamnya. Organisasi desain grafis yang oleh masyarakat awam disebut “dunia edit-edit” pada awalnya diberi nama RGB (Red, Green, Blue) atau dikenal sebagai dasar dari segala warna. Namun pada perkembangannya organisasi yang ia prakarsai bersama lima temannya yang lain mulai melebarkan sayap ke dunia fotografi, seiring dengan perubahan orientasi tersebut maka terjadi pula perubahan pada nama organisasi ini menjadi PIXEL. Pixel yang dimaksudkan kerapkali kita jumpai dibelakang hp dekat kamera tertera 2.0 megapixel, 1.0 megapixel, dan lainnya. Namun makna sebenarnya tidak sesederhana itu. Menurut narasumber yang kini  masih aktif di organisasi fotografi bernama Hitam Putih Fotografi itu pixel adalah titik yang terhubung satu sama lain dan memberikan serangkaian warna dan gambar. Filosofinya, diharapkan titik-titik kecil tersebut dapat menjadi awal dari sebuah bentuk utuh yang besar, dalam hal ini ia maknai sebagai pencapaian besar berawal dari usaha kecil yang secara konsisten bertumbuh dan berkembang.

Kembali pada awal ketertarikannya pada dunia fotografi, yakni bulan 8 tahun 2010 ia akhirnya mendapatkan kesempatan untuk memiliki sebuah kamera idaman setelah melakukan lobi intensif dengan keluarga selama berbulan-bulan. Dengan jurus andalan ditambah sugesti yang memadai maka pada semester empat ia mulai memperkenalkan visi dan misinya dalam menggabungkan hobi dan pendidikan, yakni fotografi dan IT (desain grafis). Ia  mencanangkan untuk memfokuskan diri dalam dunia tersebut sebagai bekal hidupnya kelak. Melihat kesungguhannya maka tak heran bila keluarga sangat mendukung dalam hal finansial dan do’a, paparnya sembari mengutak atik hp touch screen-nya yang berwarna pink.

Dalam mengambil objek foto ia cenderung menyukai tema-tema human interest, yakni kegiatan yang mudah menarik dan menyentuh aspek kemanusiaan kita. Karena menurutnya dengan memotret kegiatan manusia ia mendapatkan kesenangan tersendiri. “Dengan mendapatkan angle dan komposisi dari hasil motret karya yang saya hasilkan kelihatan lebih hidup ”. Tulisnya di secarik kertas putih tadi. Baru-baru ini ia meraih juara III dalam fotografi kontes yang bertema Pesta Kebudayaan Jepang di UNHAS. Sambil menuturkan sederet kemenangannya termasuk juara I di UMI dan juara Foto Favorit di UNHAS lagi, penulis lalu melempar pertanyaan “Bagaimana dengan UIN?”, walau sedikit syok ia akhirnya menuturkan isi pikiranya, menurutnya kendati UIN telah dikenal luas sebagai penghasil desainer-desainer berkualitas di luar namun belum pernah sekalipun ada kontes fotografi dan desain dalam skala besar di kampus hijau ini. Diantara pesimisme yang ia tampakkan, tiba-tiba ia berdalih “Tapi insya Allah dalam waktu dekat ini akan ada even besar dari teman-teman IT terkait fotografi dan desain.”, paparnya yakin. Dibalik gayanya yang terkesan sedikit cuek dan penuh lelucon, ia benar-benar meletakkan usaha yang keras dan konsisten pada bidang yang kini ia geluti. Ia berulang kali mengatakan pentingnya peran orang tua dalam memotivasi langkahnya hingga saat ini berada tepat dihadapan penulis untuk berbagi pengalaman.

Selain orang tua, ada seseorang yang sangat berjasa dalam proses pembelajarannya, beliau tidak lain adalah Abi Sija. Sosok senior yang begitu rendah hati dan memperkenalkannya dengan dunia fotografi secara perlahan. Dalam penuturannya terhadap sosok satu ini, ada emosi yang terlihat, perasaan yang sedikit berbeda dari awal pemrbincangan kami. Raut yang penuh canda itu tampak sedikit normal untuk beberapa menit ini. Ditahap ini ia mulai menjelaskan betapa berjasa orang itu. Ia menceritakan bahwa setelah dua bulan bergabung dalam komunitas Hitam Putih Fotografi akhirnya ia meraih juara I di UMI setelah serentetan kegagalan. Hal itu sangat tak terduga karena pengumumannya juaranya pada pukul 18.00 bertepaatn dengan jadwal prakteknya sehingga ia tak mendengar secara langsung namun melalui temannya. Tak terbayang perasaan senangnya saat itu.

Setalah bercakap kurang lebih 30 menit, penulis memutuskan untuk menyudahi karena narasumber dan penulis mempunyai jadwal kuliah saat itu. Dengan sedikit berharap Hasyaf menuturkan keinginannya untuk mengadakan photo session, workshop, dan photography training untuk para pemula. Sebuah keinginan yang sederhana dari calon fotografer besar, dan dituliskan dengan sederhana pula oleh calon jurnalis handal. Sepertinya simbiosis mutualisme berjalan dengan baik disini.

sekian.

“memotret sesederhana merekam momen penting yang tak mau kau lewatkan”
(eri)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar