AKU AKAN TERBIASA.
Itu pasti. Masih dengan suara serak, kubulirkan kenyataan ini. Sebuah asa yang entah harus bermuara kemana? Tak ada yang lebih baik dari ini. Ku yakin. Meski kata egois dan individualis akan menghampiri perlahan.
Mak, sarangheyo … ditengah pasang surut proses ini masih kuyakinkan untuk menyempatkan cinta padamu. *_* . I’ll do my best till blood and tears can’t stop me.
Although it seems like a though road, I’ll keep on believing in Allah for thousands love that brought me up every time.
Masa yang mungkin tak mudah bagi gadis kecil sepertiku, tapi aku tahu aku adalah wanita luar biasa. Aku akan selalu mampu bergelut dengan berbagai sudut pandang, menganalisa, memilah, dan menyimpulkannya sendiri. Aku berhak untuk itu.
Saat bayang itu hendak mematrikan rasanya, aku menghindar. Bukan sekedar untuk mengamankan hatiku tapi untuk meyakinkannya bahwa aku membutuhkan aku lebih dari siapapun dalam kondisi apapun. Aku benci ketergantungan yang membuatku terlihat bernasib naas layaknya burung dara kecil yang terhempas dengan luka di sayap oleh tembakan pemiliknya. Kita tak pernah tahu kesiapan dan eksistensi mereka saat kita benar dalam kondisi “butuh”. Bukankah lebih baik mempersiapkan dirimu kuat dalam segala musim, memandirikan diri, dan bersahabat dengan tantangan sedini mungkin. Saat dimana anak lain masih berkutat dengan kisah ababilnya, aku telah belajar untuk mendewasakan diri demi kata yang disebut “keluarga”. Aku mematrikan diri sebagai pejuang setidaknya untuk adik-adikku. Kalau kau katakan aku mati rasa, bisa benar bisa juga tidak. Benar kalau kau mempersempitnya dalam hubungan pria-wanita, namun akan salah bila kau mengaitkannya dengan kata pendidikan dan keluarga. Karena aku sudah cukup dewasa untuk hal itu.
Remove,
sorry but it’ll be better.
sorry but it’ll be better.
Dalam perjalanaan mengenalmu, kau adalah salah satu teman terbaik yang mungkin takkan kutemukan lagi dalam masa berikutnya. Dan berawal dari pemahaman inilah, aku memutuskan untuk memberimu ruang dalam keakuanmu.
Hanya ruang. Maaf.
Ternyata dalam diam pun kita masih berseteru dengan kemasing-masingan yang berpersepsi berbeda.
Aku bukan tak mengenal kata “hati”, namun hal seperti ini memang bukan bahan yang menarik untuk kudiskusikan pada siapapun. Aku memilih untuk merangkainya jadi prosa yang tepat sekedar untuk mencukupi kebutuhan menulisku yang harus menyetor 180 karya per tahun, atau 15 karya perbulan.
Ironis bukan?
Terserah.
Bukankah telah kupaparkan dengan bahasa lugas bahwa aku bukan sosok aktris di drama korea yang cantik, imut, lugu, penuh pesona, ceria, lembut, dan sangat menyentuh hati saat ia menatap lawan mainnya.
Tidak
Aku jauh dari itu, aku petarung.
Aku menyebutnya demikian karena aku memang demikian.
Kurasa tak ada yang salah karena setiap orang memang berhak. Kau berhak menemukannya, dan kuberhak dengan diriku. Setiap keberhakan yang berharap tak bersinggungan.
Sekali lagi biarkan saja segalanya begitu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar